Senin, 15 Juli 2019

AKU MENTARI

Cerpen dari Silvia Anggraeni

"Dulu Ibu pernah berpesan: jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain"

Namaku mentari, orang biasa yang tinggal di sebuah desa kecil dan yang paling penting tidak ada jaringan. Di desaku, para warganya sudah terbiasa dengan yang namanya keterbatasan, mungkin karena pemerintah jarang bahkan tidak pernah menjamah desa kami. Ibuku seorang buruh cuci yang selama ini aku rindukan dan ayahku adalah seorang petani.

Aku bercita-cita ingin memajukan desa kami, sungguh menghayal namun aku benar-benar bertekad akan hal itu. Meski terkadang banyak orang yang menyindir bahkan menghina ku, mereka hanya berpikiran bahwa aku akan menjadi buruh seperti ibu dulu.
"Sudah lah nduk, jangan terlalu menghayal. Kita lihat kenyataannya saja", kata ayahku saat aku duduk di atas pohon dengan buku-buku tebal di sampingku.
"Tidak yah, kita tidak boleh pasrah seperti ini,"
"Terserah kamu saja," ayah berlalu meninggalkanku.
Pusing sekali memikirkan semua ini. Bahkan ayahku saja tidak percaya. Desaku ini memang sangatlah tertinggal, listrik saja hanya beberapa rumah yang punya, yang lain tidak mampu membayar termasuk rumahku ini. Uang ayah untuk menyekolahkan ku jadinya rumah ku hanya diterangi lampu minyak. Meski ekonomi terbatas aku tidak akan menyerah dengan keadaan.
***
Sekolah
"Hai mentari !!!" Sapa Mira temanku
"Hai Mir, kenapa cengengesan gitu?"
"Lulus nanti kita daftar kerja di pabrik baru itu yuk!"
"Pabrik Baru? Dimana Mir?"
"Iya Pabrik Tekstil di kota lah mentari sayangku" jawab Mira
"Jadi kita merantau? Big No Mir. Kamu tahu sendiri kan cita-cita aku apa..." aku menolak mentah tawaran Mira.
"Iya Tari. Terserah kau saja lah, memang ngeyel kau"
*kringkringkring*
Bel berbunyi tidak lama kemudian Bu Tias masuk. Kelas kami pelajaran seperti biasa. Aku yang senantiasa senang dengan apa yang diajarkan Bu Tias yaitu "kewirausahaan" dan temanku Mira ini malah asik membuat pulau di meja, memang kebiasaan Mira karena bagi dia mata pelajaran ini membosankan. Sangat membosankan.
"Anak-anak besok Minggu depan kalian sudah wisuda dan pelajaran dari ibu ini semoga bermanfaat bagi kalian nantinya. Kalau ibu boleh tau... ada yang mau berwirausaha, coba angkat tangan?"
Murid-murid yang lain terlihat tidak tertarik dengan kata wirausaha, hanya aku yang angkat tangan dan berantusias, sungguh miris desa berflower ini.
"Kenapa hanya Mentari, kalian mau jadi apa memangnya?", Tanya Bu Tias
"Jadi pengacara Bu... pengangguran hanya acara" jawab Aldi
"Jadi buruh cuci saja bu" jawab Ningsih begitu pasrah
"Jadi buruh pabrik di kota lah bu:" jawab Mira dengan semangat. Mira kalau sudah mau jam pulang dia bakal berubah semangat.
"Yah terserah kalian saja, Mentari mau berwirausaha apa nak?", Lagi Bu Tias bertanya
"Berhubung di desa kita banyak enceng gondok dan mang Asep banyak koran (pengumpul sampah koran), saya mau membuat tas dengan bahan itu bu. Untuk modalnya saya punya tabungan"
Teman-temanku lantas tertawa mendengarkan celotehanku, sakit hati ini.
***
Waktu berlalu begitu cepat, sudah satu minggu aku berusaha membuat tas itu semenjak aku diwisuda. Sulit memang tetapi aku yakin bahwa nantinya akan bermanfaat. Setelah itu aku lalu membawa tas ku ke kota yang lumayan jauh dari perkampungan. Sinar matahari seperti menusuk tubuhku tetapi aku tetap semangat mengayuh sepeda ini, kurang lebih 2 jam aku baru sampai di kota.
*2 jam kemudian*
"Mang-mang boleh minta tolong fotoin tas ini terus masukin di salah satu aplikasi belanja online?", tanyaku kepada Mang penjaga warnet ini.
"Boleh dek, mari mamang bantu"
"Makasih mang"
Tahap demi tahap aku lalui. Bolak balik dengan sepeda ke kota yang ada warnetnya untuk memantau akun bisnis online. Memang awalnya begitu pahit karena 3 bulan tidak ada respon dari calon pembeli padahal hampir seminggu sekali aku memperbarui postingan di akunku sampai pada akhirnya ada yang memesan dari luar negeri. Dan dari situlah tas ku mulai banyak pesanan.
3 bulan pesanan aku handle sendiri tetapi karena terus melonjak akhirnya aku mulai mencari warga yang berminat. Sekarang bisnis tas Enceng gondok dan tas dari koran milik ku sudah merambah ke dunia internasional bahkan sudah memiliki ruko sendiri.
***
Desa Kecil, 2019
Panjang lebar Mentari menceritakan semua kepada ibunya dari dia sekolah hingga usaha yang dia rintis berjalan lancar.

"Alhamdulillah Bu, Mentari masih mengingat pesan ibu, mentari bisa membuka usaha sendiri sehingga mengurangi jumlah pengangguran di desa kita selain itu keuntungan dari usaha mentari juga buat anak-anak kurang mampu dan yang lebih penting bu, pemerintah sekarang sudah melihat desa kita Bu, desa kita sudah maju Bu. Tapi sayang ibu tidak di samping Mentari." Ucapku di samping makam ibu.
"Semoga ibu tenang disana ya bu, Mentari dan ayah selalu sayang ibu."
-Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil-

*nduk = panggilan untuk anak perempuan
*ngeyel = susah untuk dinasehati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar